“ahh.. aku sudah capek dengerin ibu
ngomel mulu!!”
Braaaakkk...
Pintu itu terdengar keras kubanting.
Akupun berlalu meninggalkan ibuku yang masih mengeluarkan sumpah serapahnya.
Aku capek seperti ini terus, kenapa
ibu tak pernah mengerti aku sedikitpun?
Pertanyaan itupun selalu muncul
dalam benakku.
Berawal dari pembicaraan kita
sepulangku kerja, ibu yang memulainya. Dan akupun menanggapinya dengan datar.
Karena aku terlalu lelah dengan tugas kantor yang sepertinya tak pernah henti
menyiksaku setiap harinya
“kamu kapan mau bantu ibu beresin
masalah ibu?”
“ibu butuh bantuan kamu buat
nyelesaiin masalah ibu”
Dengan nada yang sedikit meninggi
“aku baru datang kerja bu, tunggu
aku mandi dulu baru kita bicarakan”
“masa ibu gak ngerti posisiku?. Aku
capek”
Sambil berlalu meninggalkan ibu
Karena sikapku yang tidak
menghiraukan permintaannya lah ibuku semakin naik darah.
“kamu memang dari dulu gak pernah
bantu ibu!”
“kamu sibuk nyelesaiin masalah kamu
sendiri”
“kapan kamu mau bantu ibu kalo kamu
gak peduli dengan masalah ibu??”
Nada suaranya sudah mulai meninggi
Seketika itu kulemparkan tas yang
sedang kukemasi isinya.
“kapan aku gak pernah mengerti
posisi ibu??”
“kapan buk?”
“aku kerja kaya gini juga pengen
bantuin ibu!!”
Tak terasa bulu kudukku merinding,
aku seberani itu terhadap ibuku. Dan air mataku pun menetes lirih.
“kamu kerja buat kebutuhan kamu
sendiri, bukan buat ibu!”
“coba lihat adik kamu yang sedikit
banyak bantuin ibu”
Semakin tinggi emosiku dengan
ucapannya
“dulu sebelum adik kerja, siapa yang
bantuin ibuk??”
“siapa yang ngasi uang jajan adik
kalo ibu gak megang uang sepeserpun?”
“kapan aku pernah minta uang buat
biaya kuliah meski itu hanya uang SPP 200ribu??”
Semakin tinggi emosi dan bantahanku
atas tuduhannya, semakin besar pula rasa marah ibu padaku. Sore itu dikampung, seketika
menjadi sore yang ramai dengan teriakan kita di dalam rumah. Tak ada seorang
pun yang melerai, hanya kita berdua yang saling berargumen mempertahankan
idealisme masing masing. Aku dengan argumen ku, dan ibu dengan argumennya yang
dia rasa benar.
“dasar anak gak tau diuntung, aku
yang melahirkan kamu”
“apa aku minta semua biaya yang aku
keluarin buat besarin kamu selama ini?”
Seketika itu akupun terdiam, kenapa
ibu meluapkan emosi dengan mengungkit ungkit pemberian yang sudah merupakan
kewajibannya kepada anaknya? Saat itu aku tak berkata apa apa. Otakku berfikir,
kemana aku harus pergi menjernihkan pikiranku saat ini?
“terserah ibu mau ngomel apapun,
yang jelas ketika semua urusanku selesai aku akan menyelesaikan masalah ibu
satu persatu secara bertahap”
“aku mohon ibu bisa menghargai itu”
Kuambil tas yang aku lemparkan tadi,
bergegas meninggalkan ibu yang sedang tidak bisa mengontrol emosinya.
Semoga dengan aku pergi, emosi ibu
perlahan memudar. Aku yakin pasti ibu bisa meredamnya. Hanya saja butuh waktu.
Diperjalanan, akupun sadar dengan
apa yang diucapkan ibu
“kamu sibuk nyelesaiin urusan kamu
sendiri. Dan kamu kerja hanya untuk kebutuhan kamu sendiri, bukan buat ibu”
Seperti halnya ditampar tetapi ini
jauh lebih sakit dari pada 10 kali tamparan. Sakitnya melebihi disayat dengan
pisau yang sangat tajam. Sakit!
Termenung dengan perkataan ibu yang
memang ada benarnya. Ibu sudah melahirkanku. Dengan susah payah dia
mengeluarkan kepalaku dari rahimnya. Dan tidak dengan perjuangan yang mudah, tapi
dengan nyawa taruhannya. Seketika itu aku menangis, tak peduli semua orang
menatapku.
Aku berhenti sejenak, kuambil hape
kemudian kupencet nomor salah seorang temanku
Aku
kerumah kamu sekarang, bls
Oke.
Jawabnya singkat
Kuceritakan kepada temanku tentang
apa yang terjadi antara aku dan ibu. Sambil menangis aku bercerita panjang
lebar. Menyesal atas apa yang sudah aku ucapkan kepada ibu. Tak sepatutnyalah
aku berkata demikian menyakitkan kepada seorang yang telah melahirkanku.
“kamu mungkin terlalu emosi, ibumu
juga”
“kamu capek, beliau juga lelah dengan
beban yang beliau pikul”
“iya”
Akupun mengiyakan dengan anggukan
kepala
“trus aku musti gimana?”
“sepertinya ibu kecewa dengan apa
yang aku ucapkan tadi”
Dengan tenang temanku berkata
“tunggu aja, pasti ibu kamu Cuma
emosi sesaat”
“gak mungkin beliau tega tak
menghiraukan anaknya”
“bagaimanapunjuga, beliau ibu kamu. Beliau
lebih ngerti kamu dari siapapun”
Kurangkul teman yang sekaligus
sahabatku itu, menangis dipelukannya sejadi-jadinya.
“thanks ya”
“ya, besok kamu harus pulang”
“oke” kataku lirih
Keesokan harinya, kulihat ibu masih
tertidur lelap di kasur. Kuhampiri ibuku. Dengan manja aku tidur disampingnya,
merangkulnya seperti tak terjadi apa apa semalam.
“ibu, aku sayang ibu”
Bisikku pelan sambil mencium
rambutnya dari belakang
“dasar”
Tangannya pun memukul wajahku pelan.
Seperti tak terjadi apapun diantara
kami. Aku tau sifat ibu yang hanya bisa marah seketika itu, kemudian besoknya
dia hampir lupa dengan kejadian yang lalu. Itulah ibuku. Ibu yang hebat buatku,
meski kita terkadang beda argumen, selera dan cara berfikir. Dia surgaku, dan
dari doanya dikabulkan Tuhan.
You’re my everything, ill do anything
to make you smile
I love you more and more mom...
Until my last breath
Tidak ada komentar:
Posting Komentar