Jumat, 02 November 2012

Ibuku Sayang :*









“ahh.. aku sudah capek dengerin ibu ngomel mulu!!”

Braaaakkk...

Pintu itu terdengar keras kubanting. Akupun berlalu meninggalkan ibuku yang masih mengeluarkan sumpah serapahnya.

Aku capek seperti ini terus, kenapa ibu tak pernah mengerti aku sedikitpun?
Pertanyaan itupun selalu muncul dalam benakku.

Berawal dari pembicaraan kita sepulangku kerja, ibu yang memulainya. Dan akupun menanggapinya dengan datar. Karena aku terlalu lelah dengan tugas kantor yang sepertinya tak pernah henti menyiksaku setiap harinya

“kamu kapan mau bantu ibu beresin masalah ibu?”

“ibu butuh bantuan kamu buat nyelesaiin masalah ibu”
Dengan nada yang sedikit meninggi

“aku baru datang kerja bu, tunggu aku mandi dulu baru kita bicarakan”

“masa ibu gak ngerti posisiku?. Aku capek”
Sambil berlalu meninggalkan ibu

Karena sikapku yang tidak menghiraukan permintaannya lah ibuku semakin naik darah.

“kamu memang dari dulu gak pernah bantu ibu!”

“kamu sibuk nyelesaiin masalah kamu sendiri”

“kapan kamu mau bantu ibu kalo kamu gak peduli dengan masalah ibu??”
Nada suaranya sudah mulai meninggi

Seketika itu kulemparkan tas yang sedang kukemasi isinya.

“kapan aku gak pernah mengerti posisi ibu??”

“kapan buk?”

“aku kerja kaya gini juga pengen bantuin ibu!!”
Tak terasa bulu kudukku merinding, aku seberani itu terhadap ibuku. Dan air mataku pun menetes lirih.

“kamu kerja buat kebutuhan kamu sendiri, bukan buat ibu!”

“coba lihat adik kamu yang sedikit banyak bantuin ibu”

Semakin tinggi emosiku dengan ucapannya

“dulu sebelum adik kerja, siapa yang bantuin ibuk??”

“siapa yang ngasi uang jajan adik kalo ibu gak megang uang sepeserpun?”

“kapan aku pernah minta uang buat biaya kuliah meski itu hanya uang SPP 200ribu??”

Semakin tinggi emosi dan bantahanku atas tuduhannya, semakin besar pula rasa marah ibu padaku. Sore itu dikampung, seketika menjadi sore yang ramai dengan teriakan kita di dalam rumah. Tak ada seorang pun yang melerai, hanya kita berdua yang saling berargumen mempertahankan idealisme masing masing. Aku dengan argumen ku, dan ibu dengan argumennya yang dia rasa benar.

“dasar anak gak tau diuntung, aku yang melahirkan kamu”

“apa aku minta semua biaya yang aku keluarin buat besarin kamu selama ini?”

Seketika itu akupun terdiam, kenapa ibu meluapkan emosi dengan mengungkit ungkit pemberian yang sudah merupakan kewajibannya kepada anaknya? Saat itu aku tak berkata apa apa. Otakku berfikir, kemana aku harus pergi menjernihkan pikiranku saat ini?

“terserah ibu mau ngomel apapun, yang jelas ketika semua urusanku selesai aku akan menyelesaikan masalah ibu satu persatu secara bertahap”

“aku mohon ibu bisa menghargai itu”
Kuambil tas yang aku lemparkan tadi, bergegas meninggalkan ibu yang sedang tidak bisa mengontrol emosinya.

Semoga dengan aku pergi, emosi ibu perlahan memudar. Aku yakin pasti ibu bisa meredamnya. Hanya saja butuh waktu.

Diperjalanan, akupun sadar dengan apa yang diucapkan ibu

“kamu sibuk nyelesaiin urusan kamu sendiri. Dan kamu kerja hanya untuk kebutuhan kamu sendiri, bukan buat ibu”

Seperti halnya ditampar tetapi ini jauh lebih sakit dari pada 10 kali tamparan. Sakitnya melebihi disayat dengan pisau yang sangat tajam. Sakit!

Termenung dengan perkataan ibu yang memang ada benarnya. Ibu sudah melahirkanku. Dengan susah payah dia mengeluarkan kepalaku dari rahimnya. Dan tidak dengan perjuangan yang mudah, tapi dengan nyawa taruhannya. Seketika itu aku menangis, tak peduli semua orang menatapku.

Aku berhenti sejenak, kuambil hape kemudian kupencet nomor salah seorang temanku

Aku kerumah kamu sekarang, bls

Oke.
Jawabnya singkat

Kuceritakan kepada temanku tentang apa yang terjadi antara aku dan ibu. Sambil menangis aku bercerita panjang lebar. Menyesal atas apa yang sudah aku ucapkan kepada ibu. Tak sepatutnyalah aku berkata demikian menyakitkan kepada seorang yang telah melahirkanku.

“kamu mungkin terlalu emosi, ibumu juga”

“kamu capek, beliau juga lelah dengan beban yang beliau pikul”

“iya”
Akupun mengiyakan dengan anggukan kepala

“trus aku musti gimana?”
“sepertinya ibu kecewa dengan apa yang aku ucapkan tadi”

Dengan tenang temanku berkata
“tunggu aja, pasti ibu kamu Cuma emosi sesaat”

“gak mungkin beliau tega tak menghiraukan anaknya”

“bagaimanapunjuga, beliau ibu kamu. Beliau lebih ngerti kamu dari siapapun”

Kurangkul teman yang sekaligus sahabatku itu, menangis dipelukannya sejadi-jadinya.

“thanks ya”

“ya, besok kamu harus pulang”

“oke” kataku lirih

Keesokan harinya, kulihat ibu masih tertidur lelap di kasur. Kuhampiri ibuku. Dengan manja aku tidur disampingnya, merangkulnya seperti tak terjadi apa apa semalam.

“ibu, aku sayang ibu”
Bisikku pelan sambil mencium rambutnya dari belakang

“dasar”
Tangannya pun memukul wajahku pelan.

Seperti tak terjadi apapun diantara kami. Aku tau sifat ibu yang hanya bisa marah seketika itu, kemudian besoknya dia hampir lupa dengan kejadian yang lalu. Itulah ibuku. Ibu yang hebat buatku, meski kita terkadang beda argumen, selera dan cara berfikir. Dia surgaku, dan dari doanya dikabulkan Tuhan.

You’re my everything, ill do anything to make you smile
I love you more and more mom...
Until my last breath

Tidak ada komentar:

Posting Komentar