Kamis, 06 Februari 2014

MATEMATIKA ≠ MATI-MATIAN



Apa yang ada dipikiran anda tentang MATEMATIKA?? Pelajaran yang paling tak disukai? Pelajaran yang menakutkan? Atau matematika tak ubahnya seperti hantu yang selalu datang menghampiri? Wkwk.. itu terlalu berlebihan alias lebay.
Kalau kata murid-murid saya, matematika itu matek-matek an atau istilah bahasa indonesianya mati-matian. Sayapun dulu, sewaktu masa sekolah juga menganggap matematika sama halnya dengan anggapan sebagian besar murid-murid di seluruh Indonesia. Matematika, matek-matek an. Padahal sejatinya tak seperti itu. 

Saat ini saya menyadari ketakutan mereka tentang pelajaran matematika. Karena memang pada dasarnya yang membuat sebagian murid membenci matematika adalah tidak adanya keinginan untuk belajar, melatih diri mengerjakan soal-soal, dan mendengarkan apa yang guru mereka sampaikan. Kebanyakan dari mereka hanya bisa mengandalkan salah satu atau beberapa temannya untuk menjawab soal matematika yang ditugaskan oleh guru dan menyalinnya tanpa tau asal muasal jawaban tersebut tercipta. Maksud saya begini, ketika memang mereka tak mengerti materi tersebut ada baiknya ditanyakan kepada guru atau kepada teman yang mereka anggap dapat menyampaikan materi dengan baik –jika mereka malu untuk menanyakan kepada gurunya karena takut-. Selama ini yang terjadi banyak dari mereka yang sangat kurang sekali minat untuk bertanya. Dan itu sangat disayangkan sekali.

Seringkali ketika saya sedang menerangkan materi, di akhir saya menerangkan materi tersebut, saya selalu menanyakan “Ada yang ditanyakan anak-anak?” dan seluruh isi kelas diam tak bergeming. Namun, ketika saya beri soal yang tak jauh beda dengan contoh soal yang sudah diterangkan, murid-murid sayapun kebingungan, menjawabnyapun lama. Alhasil ketika ada salah satu anak maju untuk bertanya ke depan, yang lainnya ikutan tanya. Tapi, biarpun demikian saya hargai usaha mereka bertanya walaupun itu hanya sebagian dari murid. 

Kadang kala sempat berfikiran seperti ini “apakah cara mengajar saya yang salah, ataukah ini salah anak-anak?” ketika cara mengajar sudah dirubah sedemikian rupa, membuatnya lebih menarik, pembelajaran diluar kelas, serius tapi santai, namun masih ada saja kendalanya. Terkadang memang kendalanya ada pada perseorangan. Ada pada individu siswa itu sendiri. Mereka memang sudah muak dengan gurunya, mereka tidak suka dengan pelajarannya karena sulit, atau malah mereka punya masalah pribadi dirumah. Nahh.. yang terakhir ini yang agak susah. Butuh penanganan secara psikologis.

Satu contoh siswa saya, dia anak orang tidak mampu memang. Dan rata2 disekolah saya 75% tingkat ekonomi menengah kebawah. Jadi banyak hal yang mempengaruhi selain dari segi ekonomi, lingkunan juga mempengaruhi. Termasuk kondisi keluarga, tak jarang beberapa dari mereka adalah anak broken home. Oke, lanjut ke contoh. Sebut saja namanya H. ketika pelajaran saya, memang seringkali si H ini tidak pernah masuk kelas. Karena memang matematika ditempatkan selalu di jam pertama untuk menghindari rasa malas dari siswa karena pasti di awal masuk, pikiran mereka masih fresh. Tapi berbeda dengan si H. dia memilih tidak masuk kelas karena terlambat ketika pelajaran matematika, itu terjadi berulang- ulang. Usut punya usut, dari beberapa teman dan dari yang saya amati, memang si H sangat tidak suka dengan pelajaran matematika, karena sulit katanya. Dan sayapun tidak mau kejadian ini terus-terusan berulang. Akhirnya saya ajak si H untuk ngomong baik-baik, menanyakan apa kesulitannya, apa yang menjadi keluh kesahnya, sampai akhirnya kita –antara saya dan H- menyepakati jika memang apa yang saya terangkan dalam kelas tak bisa di pahami oleh H, saya menawarkan untuk les secara privat dengan saya. Dan itupun dia setujui. 

Beberapa hari setelah perbincangan kami, ketika tiba waktunya matematika, saya menerangkan materi, kali ini menjadi lebih berat karena saya menerangkan sampai tiga kali supaya murid-murid saya paham dengan maksudnya. Dan si H, saya perlakukan berbeda. Saya dekati bangkunya, saya terangkan sampai akhirnya dia paham, dan diapun sedikit demi sedikit mulai paham. Sampai saat ini, setelah perjanjian itu, niat untuk membolos ketika pelajaran saya sudah tidak lagi terjadi. Memang, kita butuh curhat-curhatan dengan murid-murid kita supaya kita tau apa yang mereka mau. Ketika kita tau apa yang mereka mau, maka segalanya jadi mudah. Cara yang saya gunakan diatas tak lepas dari cara guru saya terdahulu yang memperlakukan saya sama halnya dengan H. Bukankah seorang guru adalah wakil dari orang tua di sekolah. Jadi, ketika anak tidak mengerti maunya orang tua, maka orang tua yang harus mengerti maunya anak. Seperti itulah pokoknya...

Tulisan ini sebenarnya lebih kepada curhatan saya tentang matematika yang sering dianggap sebagai matek-matek an. Karena jujur, ketika saya diposisi sebagai seorang guru, saya tidak setuju dengan sebutan itu. Namun saya juga tak memungkiri jika dulunya sayapun menganggap hal yang sama. Yah... semacam dilemma terselubung. Hehe.. 

Jadi Tolong, jangan benci matematika. karena tidak semua matematika itu susahnya mati-matian. Hehe.. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar