Rabu, 31 Oktober 2012

Aku dan Kopi Sisa Ayahku


Sore ini, secangkir kopi itu mengingatkan ku pada ayahku. Kulihat dicangkir itu tersisa kopi yang kira kira setengah cangkir ukuran mungil.
Cangkir mungil itulah yang biasanya digunakan ibu untuk kopi favorite ayahku sepulang dari kantor.

“mana nih sendoknya buk?”

“ibu kan tau kalau ayah paling suka minum kopi pake sendok”
Dengan setengah berteriak ayahku pada ibuku yang ketika itu didapur.

“iya, nih diambilin. Ibu lupa”
Sambil berlari kecil ibu menyerahkan sendok teh yang biasa digunakan ayah untuk meminum sedikit demi sedikit kopinya yang perlahan mulai dingin.

“ayah suka nih kalo gula dan kopinya pas kayak gini”
Sembari menikmati kopi kapal api favoritnya dan tersenyum simpul pada ibu.

“kalo ibu lagi pergi, kamu yang kebagian bikin kopi buat ayah nduk”
Ayah menoleh padaku dan menunjukku dengan menggunakan sendok yang dia pegang.

“kok aku yah? Aku kan gak suka kopi.”
“apa sih enaknya kopi?”
Sindirku sinis pada ayah

“yah, kamu belum tau enaknya sih.”
“sekali kali cobain. Nanti kalo kopi ayah sisa, kamu minum. Dikit aja gak perlu banyak, yang penting ngerasain gimana rasanya kopi”

“hahaha.. ayah bisa aja”
“oke deh.. ntar tak cobain kopi sisa ayah”

Dari sanalah bermula ketertarikanku dengan kopi, apalagi sisa ayah. Sepertinya ada rasa yang berbeda antara kopi sisa ayahku dengan kopi-kopi biasanya.

“tuh yah, udah tak bikini kopi. Aku sendiri lho yang bikin. Hehe..”

Ayah bingung
“memangnya ibu kamu kemana? Kok tumben kamu yang bikin?”

“ada tuh. Ibu solat”

Dengan sedikit keraguan yang seperti terlihat jelas diwajah ayahku, ayahkupun mulai meminum kopi buatanku.

“hmmmm..” gumam ayah

“gimana?”
Akupun penasaran dengan ekspresi ayah yang datar

“enak” Kata ayah dengan sedikit senyuman simpul.

Aku tau senyum itu, artinya ayah suka dengan rasanya. Ayah suka kopi pertama buatanku. Suatu kebahagiaan tersendiri bisa mendapatkan senyuman dari ayah, meskipun senyumannya sedikit simpul. Tapi matanya tidak bisa dibohongi, sepertinya ingin mengatakan “kopimu enak nduk”
Semenjak itu, ayah sudah mulai jarang meminta ibu untuk membuatkan kopi. Yang ayah cari adalah kopi buatanku. Hehe.. bangga sih bisa menyaingi rasa kopi buatan ibu, tapi tidak ada yang menggantikan keterampilan tangan ibu sewaktu memasak di dapur. Jika dibandingkan dengan aku yang hanya bisa membuat kopi.

Kopi sebagai ajang kita (ayah dan aku) untuk curhat.
Ketika aku butuh curhat, selalu kopi sebagai sogokan supaya ayah lebih nyaman dengan curhatanku.

“nih yah, kopinya”

“ah.. ayah tau pasti ujung-ujungnya mau curhat kan?”

“hehe.. ayah tau aja.”

Dan tak lupa setelah ayahku menyisakan setengah kopinya, dia selalu memberikannya padaku.
“nih, setengahnya. Sesuai permintaanmu”

Sepertinya ayah sudah hafal dengan laguku yang menantikan kopi sisa ayah.

Semenjak ayah sakit, ayah sudah mulai mengurangi minum kopi.

“yah, gak kangen kopinya?” candaku

“kangen, sana bikinin buat ayah dikit aja”
Pintanya dengan nada memelas

“eh.. eh.. mau macem-macem ya? Mau sakit lagi ininya??”
Tak lama ibu pun memarahi kami dengan tangan kiri dipinggang dan jari telunjuk sebelah kanan menunjuk kea rah lambung ayah.

Ayah terkena maag kronis, entah karena ayah sering minum kopi atau entah karena kebiasaan ayah sendiri yang suka meremehka sarapan. Yang jelas ayah terlihat pucat waktu itu. Aku berusaha tegar dengan keadaan ayah tapi aku tidak bisa menahan tetesan air mata ketika aku bersujud menghadap Allah dalam sholatku.

Empat tahun berlalu, kejadian itu seperti baru kemarin terjadi. Aku kehilangan ayah, aku kehilangan kebersamaan kita ketika kita curhat meskipun sogokannya hanya secangkir kopi. Dan yang paling penting, aku kangen kopi sisa ayahku.
Kuminum kopi didapur yang tersisa setengah. Entah kopi itu sisa siapa, tapi aku membayangkan itu kopi sisa dari ayahku.

#dedicated to my beloved dad