12th
Oct 2013 at 10.54 PM
Seperti biasanya, berdiri di depan gang jam
setengah tujuh. Entah mengapa angkot yang biasanya kunaiki tidak datang tepat
waktu. Ban bocor mungkin atau apalah, pikirku. Setelah 10 menit berlalu,
datanglah jemputan “mobil biru” ku. Nama lain yang kusematkan untuk angkot
langgananku. Tak lupa kusapa si supir angkot
“kok lama ya pak? Tumbenan nih?”
“Iya mbak, bannya bocor tadi dijalan” jawabnya
Nah, sesuai dugaanku. Bannya bocor.
Bersamaku dalam angkot ada seorang nenek yang
juga langganan si supir, teman seangkotku juga. Namanya Mbah Ijah.
“Nak...” sapanya hangat
Selalu kudengar sapaan itu ketika aku menaiki
angkot
“Iya mbah... sehat mbah?” jawabku seraya
tersenyum simpul kepadanya
“Alhamdulillah nak..”
Kami sering ngobrol di dalam angkot, namun tak
jarang juga kami saling diam. Entah kenapa waktu itu serasa ada yang berbeda
pada simbah. Dia banyak bercerita tentang dirinya dan keluarganya.
“Yo ngene iki nak lek gak duwe anak... simbah
ijenan”
“lek gak disambi dodolan keliling simbah gak
mangan” ucapnya dengan nada yang terbata bata. Mungkin karena dia sudah tua
atau mungkin juga karena kelelahan. Entahlah, kasian sekali dia.
Sehari-hari simbah ijah ini berjualan
kelontong ke beberapa rumah di daerah sekitar tempatku bekerja. Biasanya, sebelum
aku, simbah turun terlebih dahulu. Seringkali pak sopir mengantarkan dia
menyeberang seraya membawakan beban barang dagangannya kemudian diangkatkan
diatas kepala simbah.
Kuat banget simbah mikul beban segitu
beratnya, padahal fisiknya mungkin sudah mulai rapuh karena usia
Ucapku dalam hati sambil sesekali melihat
langkah simbah yang tertatih. Tanpa alas kaki simbah berjalan kesetiap rumah. Simbah
hebat.
***
Hampir sebulan lamanya setiap aku menaiki
angkot pada jam yang sama, tak tampak simbah ijah didalamnya. Naik angkot lain,
ataukah mungkin sedang libur tidak berjualan? Tapi tak hanya aku yang
menanyakan keberadaan simbah ijah. Langganan angkot yang lainnya juga kebetulan
waktu itu menanyakan keberadaan orang yang sama, mbah ijah.
“Simbah gak ngangkot le?” Tanya seorang
perempuan paruh baya kepada si supir angkot
“gak tau mak, jarene simbah lagi sakit”
jawabnya
“lho, sakit opo le? Wes suwe ta?”
“ono sewulanan mak”
“saaken simbah iku, tes tuwo yo sek dodol ae. Dikongkon
meneng nang umah karo bojone lo yo gak gelem” kata si emak.
“ancen simbah e dewe mak seng gak gelem
meneng. Simbah tambah loro kabeh lek gak keliling jare mak” jawab si supir
Sungguh mbah ijah seorang yang pekerja keras. Entah
apa yang ada dipikirannya simbah sampai dia memutuskan untuk tetap berjualan
meski raganya tak sekuat dulu. Langkahnya yang terkadang masih lirih berjalan
tanpa alas kaki, tak dihiraukannya demi uang yang mungkin tak seberapa
untungnya dari hasil jualannya keliling rumah-rumah.
Dimanapun simbah berada, dan dalam keadaan
apapun, semoga simbah sehat-sehat saja. Seandainya simbah bisa memilih, mungkin
dia memilih untuk beristirahat dirumahnya. Tapi simbah yang kuat memilih untuk
tetap berjualan demi keluarganya. Dia dan suaminya.
Tuhan akan selalu melindungimu mbah, mungkin
doaku hanya permintaan sederhana. Tapi aku tau Tuhan tak akan membiarkan
hambaNya terbebani yang tidak sesuai kemampuannya. Mbah ijah pasti bisa... aku
kangen semobil lagi denganmu mbah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar