Senin, 14 Oktober 2013

Korban di Idul Adha



"Kamu itu mas... suka banget bikin aku sakit hati"
"Kamu sering pulang malam. Kemana aja???"
"Kalo kaya gini, bisa-bisa aku terus terusan korban perasaan maaaassss!!!"
Suara keras teriakan ibu terdengar sampai kamar Andi. Bocah kelas satu SD itu tiba tiba terbangun dari tidurnya. Penasaran dengan apa yang terjadi malam itu, Andipun keluar kamar.
“Yaahhh... Bukkk... ada apa??” suara lirih Andi mengagetkan kedua orang tuanya. Sambil mengucek matanya yang masih terkantuk, diapun menghampiri Ayah dan Ibunya.
“Andi... masuk kamar” kata Ayahnya dengan nada tinggi
“Kalau kamu gak ingin aku terus-terusan korban perasaan, gak ingin pertengkaran kita didengar anakmu, berubah mas!”
“Oke, kita bicarakan ini berdua. Berdua!”
Andi yang tak ingin Ayahnya meneriakinya lagi, bergegas diapun masuk ke kamar.
Ayah dan Ibu kenapa sih? Malem malem teriak teriak, gak malu apa didenger tetangga.
Anak seusia Andi belum tau apa yang terjadi antara Ayah dan Ibunya kala itu. Hanya saja dia merasa terganggu dengan teriakan Ibunya. Dia berharap ketika pagi menjelang, semuanya akan kembali seperti biasanya.
***
Beberapa hari belakangan setelah kejadian malam itu, Andi menjadi pendiam. Ketika pelajaran dimulai diapun tidak sadar dengan kedatangan Pak Santoso, guru agama favoritnya.
“Pagi anak anak...” sapa Pak Santoso
“Paaagii pakkk....”
Andi tak menjawab sapaan hangat Pak Santoso pagi itu. Pak Santoso sedikit curiga dengan diamnya Andi.
“Anak-anak, Bapak hari ini mau menerangkan tentang Hari Raya Idul Adha”
“Ada yang tau apa itu Hari Raya Idul Adha? Yang tau angkat tangannya”
Sepanjang pelajaran yang disampaikan oleh Pak Santoso, tak sedikitpun Andi menghiraukan. Sampai ketika Pak Santoso menerangkan tentang bab kurban, Andi seketika memperhatikan
“Yang dikurbankan pada waktu Hari Raya Idul Adha itu ada kambing, ada sapi, ada lembu......”
Tak sampai Pak Santoso berhenti, tangan Andi seketika diangkatnya tinggi tinggi
“Ya Andi, ada apa?”
“Pak, kalau korban perasaan boleh?”
Seketika teman teman Andi tertawa terbahak bahak dengan pertnyaaan Andi. Pak Santoso kebingungan, dari mana Andi mendapatkan pertanyaan seperti itu?
Tak terasa bel istirahat berbunyi, itulah akhir pelajaran agama pagi itu. Namun Pak Santoso masih penasaran dengan alasan Andi menanyakan pertanyaan itu.
“Andi, Bapak mau bicara. Sini nak”
“Ya pak?”
“Tadi pertanyaan Andi belum dijawab, ada bel ya pak?”
“Iya, bapak mau tanya. Andi dapat pertanyaan itu dari mana?”
“Andi dapat dari Ibu”
“Kok dari Ibu? Emangnya Ibu Andi nanya apa?”
“Waktu itu Ibu sama Ayah bertengkar. Ibu bilang-bilang korban perasaan. Andi gak tau artinya, jadinya tak tanyain ke bapak deh”
“Ohh.. gitu...” dengan wajah keheranan Pak Santoso mengangguk
“Yasudah kamu boleh istirahat”
Pak Santoso merasa kasihan dengan Andi, dia harus melihat dan mendengar orang tuanya bertengkar dihadapannya. Dan seharusnya itu tidak boleh terjadi. Namun, dalam hati Pak Santoso tidak bisa mengelak kalau pertanyaan andi membuatnya tertawa. Anak sekecil itu, menanyakan hal yang mungkin tidak pernah didengar oleh anak lainnya. Dan kenapa harus pada waktu Pak Santoso menerangkan materi tentang kurban di Idul Adha Andi bertanya tentang itu? Entahlah.. namanya juga anak anak. Anak seusia Andi memang seringkali meniru, dan suka bertanya tentang kejadian yang dia tidak mengerti. Rasa ingin tahu mereka besar, tapi pertanyaan “apakah boleh berkorban perasaan” itu sungguh menggelitik.

14th October 2013 at 09.01 PM

Sabtu, 12 Oktober 2013

"Simbah Ijah" teman seangkotku



12th Oct 2013 at 10.54 PM
Seperti biasanya, berdiri di depan gang jam setengah tujuh. Entah mengapa angkot yang biasanya kunaiki tidak datang tepat waktu. Ban bocor mungkin atau apalah, pikirku. Setelah 10 menit berlalu, datanglah jemputan “mobil biru” ku. Nama lain yang kusematkan untuk angkot langgananku. Tak lupa kusapa si supir angkot
“kok lama ya pak? Tumbenan nih?”
“Iya mbak, bannya bocor tadi dijalan” jawabnya
Nah, sesuai dugaanku. Bannya bocor.
Bersamaku dalam angkot ada seorang nenek yang juga langganan si supir, teman seangkotku juga. Namanya Mbah Ijah.
“Nak...” sapanya hangat
Selalu kudengar sapaan itu ketika aku menaiki angkot
“Iya mbah... sehat mbah?” jawabku seraya tersenyum simpul kepadanya
“Alhamdulillah nak..”
Kami sering ngobrol di dalam angkot, namun tak jarang juga kami saling diam. Entah kenapa waktu itu serasa ada yang berbeda pada simbah. Dia banyak bercerita tentang dirinya dan keluarganya.
“Yo ngene iki nak lek gak duwe anak... simbah ijenan”
“lek gak disambi dodolan keliling simbah gak mangan” ucapnya dengan nada yang terbata bata. Mungkin karena dia sudah tua atau mungkin juga karena kelelahan. Entahlah, kasian sekali dia.
Sehari-hari simbah ijah ini berjualan kelontong ke beberapa rumah di daerah sekitar tempatku bekerja. Biasanya, sebelum aku, simbah turun terlebih dahulu. Seringkali pak sopir mengantarkan dia menyeberang seraya membawakan beban barang dagangannya kemudian diangkatkan diatas kepala simbah.
Kuat banget simbah mikul beban segitu beratnya, padahal fisiknya mungkin sudah mulai rapuh karena usia
Ucapku dalam hati sambil sesekali melihat langkah simbah yang tertatih. Tanpa alas kaki simbah berjalan kesetiap rumah. Simbah hebat.
***
Hampir sebulan lamanya setiap aku menaiki angkot pada jam yang sama, tak tampak simbah ijah didalamnya. Naik angkot lain, ataukah mungkin sedang libur tidak berjualan? Tapi tak hanya aku yang menanyakan keberadaan simbah ijah. Langganan angkot yang lainnya juga kebetulan waktu itu menanyakan keberadaan orang yang sama, mbah ijah.
“Simbah gak ngangkot le?” Tanya seorang perempuan paruh baya kepada si supir angkot
“gak tau mak, jarene simbah lagi sakit” jawabnya
“lho, sakit opo le? Wes suwe ta?”
“ono sewulanan mak”
“saaken simbah iku, tes tuwo yo sek dodol ae. Dikongkon meneng nang umah karo bojone lo yo gak gelem” kata si emak.
“ancen simbah e dewe mak seng gak gelem meneng. Simbah tambah loro kabeh lek gak keliling jare mak” jawab si supir
Sungguh mbah ijah seorang yang pekerja keras. Entah apa yang ada dipikirannya simbah sampai dia memutuskan untuk tetap berjualan meski raganya tak sekuat dulu. Langkahnya yang terkadang masih lirih berjalan tanpa alas kaki, tak dihiraukannya demi uang yang mungkin tak seberapa untungnya dari hasil jualannya keliling rumah-rumah.
Dimanapun simbah berada, dan dalam keadaan apapun, semoga simbah sehat-sehat saja. Seandainya simbah bisa memilih, mungkin dia memilih untuk beristirahat dirumahnya. Tapi simbah yang kuat memilih untuk tetap berjualan demi keluarganya. Dia dan suaminya.
Tuhan akan selalu melindungimu mbah, mungkin doaku hanya permintaan sederhana. Tapi aku tau Tuhan tak akan membiarkan hambaNya terbebani yang tidak sesuai kemampuannya. Mbah ijah pasti bisa... aku kangen semobil lagi denganmu mbah.