Senin, 17 Juni 2013

CerKil Part 2


“uhukk.. uhukk.. uhukk..”
Kudengar suara batuk dari kamar sebelah pagi itu. Terus terusan tanpa henti membangunkanku dari indahnya mimpi semalam.
“kenapa mas, dari tadi batuk kok gak brenti-brenti?” sapaku seraya menanyakan keadaannya
“batuk, kayak susah banget keluarnya” jawabnya sambil sesekali menahan batuk
Kuhampiri kakakku kala itu, mencoba memegang keningnya, dan panas sekali tubuhnya. Sempat curiga dengan penyakit yang dulunya ia derita, cikungunya. Tapi cirri-cirinya tak seperti ini. Atau mungkin ini hanya sekedar sakit biasa, kelelahan atau demam.
“istirahat aja mas, tak bikinin makanan habis itu tak beliin obat”
Terlihat gurat kelelahan dari wajah kakak yang usianya beda 4 tahun denganku itu. Wajahnya pucat, matanya sayu, dan badannya kurus. Tambah kurus dari biasanya. Seperti ayah, batuk nya mengingatkanku pada ayah. Mujahidil Haq Amrullah namanya. Kakak pertamaku ini mewarisi nama Amrullah dibelakang namanya. Nama itu sama dengan nama ayahku, Abdussalam Amrullah. Sempat merasa iri, kenapa aku tak diberi nama Amrullah dibelakang namaku? Tapi biarlah, mungkin hanya anak pertama yang hanya diberi nama Amrullah oleh ayahku. Jikalau namaku ditambah dengan Amrulah dibelakangnya, maka tak ubahnya namaku seperti kereta api yang panjang, atau seperti sekumpulan warga disatu RW. Haha.. konyol.
***
“wik, jangan kemana-mana. Mami mau keluar dulu ada rapat di kelurahan”
Kudengar suara mami samar-samar ditelingaku karena aku belum terlalu terjaga pagi itu.
“nanti kalo mas mu bangun bikini wedhang jahe anget” kata mami sambil menghampiriku di tempat tidur
“heemmmmm..” kataku masih dengan mata terpejam karena ngantuk berat
***
“ni, udah tak beliin obatnya”
“bikinin mas wedhang jahe wik” kata masku sambil makan masakanku yang seadanya
“ya”
Bergegaslah aku ke dapur. Menyiapkan permintaan kakakku. Aku ingin menujukkan perhatianku ke kakak. Meskipun kadang dia sangat menjengkelkan, tapi dia tetap kakakku. Setelah berada di dapur, aku bingung. Setelah air kumasak dalam teko, menyiapkan gula beberapa sendok dalam gelas ukuran besar, perasaan bingung menghampiriku. Kulihat bumbu-bumbu dalam satu keranjang. Banyak sekali, dan semuanya hampir sama bentuknya. Seperti kata mamiku waktu itu, dikeranjang itu tempatnya laos, jahe, kunir, kunci, dan apalah nama bumbu2. Saya tidak hafal satu-satu.
“aduhhh... gimana nih, mana yang jahe ya kok bentuknya sama semua???” ucapku dalam hati
Kugunakan indra penciumanku kala itu. Meski aku tidak tau nama-nama bumbu dalam keranjang itu, tapi aku sangat hafal bau dari jahe. Karena aromanya sangat menyengat.
“hmmm.. pasti ini” sambil menciuminya dalam-dalam dan instingku mengatakan, ini adalah JAHE.
Setelah air masak, kumasukkan “Jahe” itu ke dalam gelas yang berisi gula kemudian kutuangkan air panas. Kuaduk, dan kuberikan wedhang itu ke kakak
“nih, minum aja selagi hangat”
“ya, taruh situ aja” sambil nunjuk kursi disampingnya tempat tidur
Tak lama kulihat wedhangnya dimunum sedikit, mungkin terlalu panas airnya dituang.
***
“udah dibikinin wedhang jahe mas mu wik?” Tanya mami
“udahlah” jawabku dengan penuh percaya diri
Sudah menjadi hal yang biasa buat mami untuk mencicipi minuman apapun yang dibikin anaknya. Baik itu kopi bikinan kakak, Nescafe bikinan adik, dan kali ini wedhang bikinanku.
“kok Cuma diminum dikit sama mas mu wik?”
“gak tau, mungkin tadi panas jadinya nunggu dingin baru diminum”
Wajah mami seketika aneh setelah mencicipi wedhang bikinanaku, seperti ada rasa yang tak biasa dalam minumanku itu
“ini wedhang apaan?” kata mamiku dengan nada keras
“ya wedhang jahe lah mi”
“katanya cari di keranjang gantungan atasnya kompor” kataku membela diri
Diambillah keranjang digantungan atas kompor untuk memastikan bumbu yang kugunakan untuk wedhang itu benar adanya.
“lah yang kamu ambil ini bukan jahe wik!!!” teriak mami
“ini LAOS!” dengan menahan tawa mami menuju ke arahku
Tak percaya dengan omongan mami, kucium bumbu yang kuduga itu awalnya adalah JAHE
“lho, baunya lho mirip jahe mi”
“ini laos ndukk.. jahe itu yang bentuknya gini” sambil nunjukin mana yang jahe, mana yang laos
Kamipun berdua tertawa terbahak-bahak. Jadi, wedhang yang kubuat tadi adalah wedhang laos?? Alangkah bodohnya aku. Seorang wanita yang nantinya akan jadi ibu rumah tangga tidak bisa membedakan mana yang laos, mana yang jahe. Kebodohan yang sangat lucu.
“pantesan, rasanya aneh” kata kakak seketika membenarkan perkataan mami
“ya tambah gak sembuh-sembuh mas mu kalo kamu kasi wedang laos terus” kata mami memprovokasi
“ya, lain kali kali naruh bumbu tuh dibedain mi. ditulisin kek satu-satu gitu” jawabku
Hal yang memalukan untukku, dan aku janji tak akan kuulangi lagi nanti. Karena mungkin saja kelak suamiku minta wedhang jahe seperti halnya kakakku. Bagaimana jika yang kuberikan itu bukan wedhang jahe, tapi wedhang laos???

Monday, 17th June 2013 at 9.49 PM  
Terinspirasi dari “Wedhang Laos”

2 komentar:

  1. wuakakakak ... begitulah cinta, bisa membuat kita menjadi lupa, mana yang baik, mana yang buruk #upst...

    BalasHapus
  2. hahaha.. apa hubungannya cinta sm wedhang laos masbrow??

    BalasHapus