“uhukk.. uhukk..
uhukk..”
Kudengar suara
batuk dari kamar sebelah pagi itu. Terus terusan tanpa henti membangunkanku
dari indahnya mimpi semalam.
“kenapa mas, dari
tadi batuk kok gak brenti-brenti?” sapaku seraya menanyakan keadaannya
“batuk, kayak
susah banget keluarnya” jawabnya sambil sesekali menahan batuk
Kuhampiri kakakku
kala itu, mencoba memegang keningnya, dan panas sekali tubuhnya. Sempat curiga
dengan penyakit yang dulunya ia derita, cikungunya. Tapi cirri-cirinya tak
seperti ini. Atau mungkin ini hanya sekedar sakit biasa, kelelahan atau demam.
“istirahat aja
mas, tak bikinin makanan habis itu tak beliin obat”
Terlihat gurat
kelelahan dari wajah kakak yang usianya beda 4 tahun denganku itu. Wajahnya pucat,
matanya sayu, dan badannya kurus. Tambah kurus dari biasanya. Seperti ayah,
batuk nya mengingatkanku pada ayah. Mujahidil Haq Amrullah namanya. Kakak pertamaku
ini mewarisi nama Amrullah dibelakang namanya. Nama itu sama dengan nama
ayahku, Abdussalam Amrullah. Sempat merasa iri, kenapa aku tak diberi nama
Amrullah dibelakang namaku? Tapi biarlah, mungkin hanya anak pertama yang hanya
diberi nama Amrullah oleh ayahku. Jikalau namaku ditambah dengan Amrulah
dibelakangnya, maka tak ubahnya namaku seperti kereta api yang panjang, atau
seperti sekumpulan warga disatu RW. Haha.. konyol.
***
“wik, jangan
kemana-mana. Mami mau keluar dulu ada rapat di kelurahan”
Kudengar suara
mami samar-samar ditelingaku karena aku belum terlalu terjaga pagi itu.
“nanti kalo mas
mu bangun bikini wedhang jahe anget” kata mami sambil menghampiriku di tempat
tidur
“heemmmmm..”
kataku masih dengan mata terpejam karena ngantuk berat
***
“ni, udah tak
beliin obatnya”
“bikinin mas
wedhang jahe wik” kata masku sambil makan masakanku yang seadanya
“ya”
Bergegaslah aku
ke dapur. Menyiapkan permintaan kakakku. Aku ingin menujukkan perhatianku ke
kakak. Meskipun kadang dia sangat menjengkelkan, tapi dia tetap kakakku. Setelah
berada di dapur, aku bingung. Setelah air kumasak dalam teko, menyiapkan gula
beberapa sendok dalam gelas ukuran besar, perasaan bingung menghampiriku. Kulihat
bumbu-bumbu dalam satu keranjang. Banyak sekali, dan semuanya hampir sama
bentuknya. Seperti kata mamiku waktu itu, dikeranjang itu tempatnya laos, jahe,
kunir, kunci, dan apalah nama bumbu2. Saya tidak hafal satu-satu.
“aduhhh... gimana
nih, mana yang jahe ya kok bentuknya sama semua???” ucapku dalam hati
Kugunakan indra
penciumanku kala itu. Meski aku tidak tau nama-nama bumbu dalam keranjang itu,
tapi aku sangat hafal bau dari jahe. Karena aromanya sangat menyengat.
“hmmm.. pasti ini”
sambil menciuminya dalam-dalam dan instingku mengatakan, ini adalah JAHE.
Setelah air
masak, kumasukkan “Jahe” itu ke dalam gelas yang berisi gula kemudian
kutuangkan air panas. Kuaduk, dan kuberikan wedhang itu ke kakak
“nih, minum aja
selagi hangat”
“ya, taruh situ
aja” sambil nunjuk kursi disampingnya tempat tidur
Tak lama kulihat
wedhangnya dimunum sedikit, mungkin terlalu panas airnya dituang.
***
“udah dibikinin
wedhang jahe mas mu wik?” Tanya mami
“udahlah” jawabku
dengan penuh percaya diri
Sudah menjadi hal
yang biasa buat mami untuk mencicipi minuman apapun yang dibikin anaknya. Baik itu
kopi bikinan kakak, Nescafe bikinan adik, dan kali ini wedhang bikinanku.
“kok Cuma diminum
dikit sama mas mu wik?”
“gak tau, mungkin
tadi panas jadinya nunggu dingin baru diminum”
Wajah mami
seketika aneh setelah mencicipi wedhang bikinanaku, seperti ada rasa yang tak
biasa dalam minumanku itu
“ini wedhang
apaan?” kata mamiku dengan nada keras
“ya wedhang jahe
lah mi”
“katanya cari di
keranjang gantungan atasnya kompor” kataku membela diri
Diambillah keranjang
digantungan atas kompor untuk memastikan bumbu yang kugunakan untuk wedhang itu
benar adanya.
“lah yang kamu
ambil ini bukan jahe wik!!!” teriak mami
“ini LAOS!”
dengan menahan tawa mami menuju ke arahku
Tak percaya
dengan omongan mami, kucium bumbu yang kuduga itu awalnya adalah JAHE
“lho, baunya lho
mirip jahe mi”
“ini laos ndukk..
jahe itu yang bentuknya gini” sambil nunjukin mana yang jahe, mana yang laos
Kamipun berdua
tertawa terbahak-bahak. Jadi, wedhang yang kubuat tadi adalah wedhang laos?? Alangkah
bodohnya aku. Seorang wanita yang nantinya akan jadi ibu rumah tangga tidak
bisa membedakan mana yang laos, mana yang jahe. Kebodohan yang sangat lucu.
“pantesan,
rasanya aneh” kata kakak seketika membenarkan perkataan mami
“ya tambah gak
sembuh-sembuh mas mu kalo kamu kasi wedang laos terus” kata mami memprovokasi
“ya, lain kali
kali naruh bumbu tuh dibedain mi. ditulisin kek satu-satu gitu” jawabku
Hal yang
memalukan untukku, dan aku janji tak akan kuulangi lagi nanti. Karena mungkin
saja kelak suamiku minta wedhang jahe seperti halnya kakakku. Bagaimana jika
yang kuberikan itu bukan wedhang jahe, tapi wedhang laos???
Terinspirasi dari “Wedhang Laos”
wuakakakak ... begitulah cinta, bisa membuat kita menjadi lupa, mana yang baik, mana yang buruk #upst...
BalasHapushahaha.. apa hubungannya cinta sm wedhang laos masbrow??
BalasHapus